Breaking News
Loading...
Jumat, 08 November 2013

TABAYUN

Achmad Fadillah. Pendiri BAKORNAS-PWI
Infodesaku-Jangan heran jika dalam sebuah hubungan persaudaraan tiba-tiba terjadi perseteruan sengit. Setelah diusut, biangnya adalah salah dalam menerima dan menyampaikan sebuah berita. Jangan pula mengira, berita dari mulut ke mulut, berita dari Fecebook, Twitter apalagi Majalah Infodesaku dan sebagainya, itu pasti benar. Boleh jadi itu adalah bisikan iblis yang masuk ke jiwa pendengki yang ingin merenggut nyawa dan akidahmu.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٍ۬ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَةٍ۬ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِينَ




“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot[49]:6)

Makna Ayat Secara Umum

Syaikh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah berkata: “Jika ada orang fasiq membawa berita maka hendaknya diteliti terlebih dahulu, tidak langsung diterima. Jika langsung diterima maka bias menjatuhkan pelakunya kepada perbuatan dosa. Berita orang fasiq tentu tidak sama dengan berita orang yang benar. Jika dianggap sama (tidak dilakukan tabayyun) maka bisa berakibat saling bunuh, hilangnya harta dan nyawa tanpa bukti yang benar, dan pasti menyesal.

Oleh karena itu, apabila datang berita dari orang yang fasiq hendaklah diteliti, jika berita yang disampaikan nyata atau ada tanda kebenarannya, maka boleh diterima. Namun jika berita itu dusta maka dustakanlah dan tolaklah. Ayat ini juga menunjukkan bahwa berita orang yang benar boleh diterima dan berita orang pendusta ditolak. Sedangkan berita orang fasiq ditangguhkan sampai ada bukti lain yang menunjukkan kebenaran atau kedustaannya. Sehubungan dengan hal itu, ulama salaf menerima berita orang khawarij yang dikenal kejujurannya, sekalipun mereka itu fasiq.” (Tafsir al-Karimir-Rahman: 1/799)

Sebab Turun Ayat

Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’id radhiyallahu ‘anhu pergi ke bani al-Mustaliq guna mengambil zakat. Tatkala bani al-Mustaliq mendengar ini, mereka gembira lalu pergi menemui Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika al-Walid mendapat berita bahwa mereka pergi menemui Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam, pulanglah dia menjumpai Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Wahai Rosulullah! Sesungguhnya bani al-Mustaliq enggan membayar zakat.” Tatkala Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar berita tersebut (al-Walid radhiyallaahu ‘anhu), beliau marah sekali. Saat itu pula, beliau sallallaahu ‘alaihi wa sallam merencanakan menjumpai mereka. Tiba-tiba datanglah utusan ( bani al-Mustaliq) seraya berkata: “Wahai Rosulullah! Kami mendapat berita bahwa utusanmu pulang di tengah perjalanan, sedangkan kami khawatir dia pulang karena menerima surat dari Anda, lalu baginda marah kepada kami, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari kemarahan-Nya dan kemarahan utusan-Nya.”
Karena Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin menyerangnya, maka Alloh menurunkan udzur mereka di dalam ayat ini, yaitu QS. al-Hujurot[49]: 6.” (HR. al-Bukhari: 8/95, dishahihkan oleh al-Albani, bacaSilsilah Shohihah: 8/95)

Makna Fasiq

Berita dari orang fasiq ditangguhkan sampai jelas perkaranya. Lalu siapa orang fasiq yang dimaksud di sini? Mereka adalah orang yang keluar dari ketentuan syar’i, orang yang berbuat maksiat,yang meninggalkan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla dan keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, Iblis dikatakan fasiq karena enggan melaksakan perintah Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar sujud kepada Nabi Adam ‘Alaihis Salaam.
Kefasiqan dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Kefasiqan yang menjadikan pelakunya tetap muslim akan tetapi mereka bermaksiat, seperti ayat di atas. (QS. al-Hujurot [49]: 6) Dan kefasiqan yang menjadikan pelakunya kafir, keluar dari Islam, seperti firman-Nya:
“Maka apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasiq(kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. as-Sajdah[32]: 18)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: ”Orang yang terang-terangan mengerjakan kefasiqan tidak boleh menjadi imam sholat, inilah pendapat ulama Sunnah. Walaupun ada sebagian yang membolehkan, namun untuk menghukumi mereka fasiq bukan perkara yang mudah seperti umumnya orang berkata. Oleh Karena itu Alloh ‘Azza wa Jalla mencela orang yang mudah memfasiqkan orang yang beriman.
“Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.” (QS. al-Hujurot [49]: 11) (Liqo’ Babil Maftuh : 6/119)

Namun yang menjadi imam adalah waliyul ‘amri yang curang, maka kita wajib bermakmum kepadanya, karena keluar dari mereka sungguh sangat berbahaya. ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sholat adalah perbuatan manusia yang paling baik, jika mereka baik sholatnya maka ikutilah kebaikannya, jika jelek sholatnya maka jauhilah kejelekannya.”
Dan ada sebagian yang berpendapat mengulangi sholatnya di rumah dengan tidak menampakkannya kepada orang lain.” (Tafsir al-Qurthubi: 16/312)

Adapun orang fasiq jika ia menjadi saksi, maka hukumnya haram dan wajib ditolak.[3]

Makna Tabayyun

Pada ayat di atas kita jumpai kalimat fatabayyanuu diterjemahkan dengan “periksalah dengan teliti”.Maksudnya telitilah berita itu dengan cermat, dengan pelan-pelan, dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghukumi perkara dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar. Hendaknya meneliti berita yang datang kepadamu sebelum kamu beritakan, sebelum kamu kerjakan dan sebelum kamu menghukumi orang. (Baca Tafsiru Ayatil Ahkam: 1/226, Fathul Qodir: 7/10)

Haruskah Ditolak Berita Orang Fasiq

Apabila kita mengamati ayat di atas, Alloh ‘Azza wa Jalla tidak memperintahkan kita agar menolak berita orang fasiq atau menerimanya, karena bisa jadi beritanya benar atau salah. Karenanya wajib diteliti terlebih dahulu agar kita tidak menyesal atas kurangnya kehati-hatian kita.
Al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Dari ayat ini kita dapat mengambil faidah, bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla tidak memperintahkan menolak berita dari orang fasiq dan tidak pula menyuruh untuk mendustakannya, tetapi menolak dia sebagai saksi secara umum. Kita diperintahkan agar meneliti berita yang disampaikannya, jika ada qorinah (tanda) dan bukti bahwa berita yang dibawanya benar, maka boleh mengambil beritanya, sekalipun kefasiqan yang telah dilakukannya berat. Inilah kaidah untuk mengambil riwayat dari orang yang fasiq dan persaksiannya, sebab banyak pula orang fasiq yang benar berita dan riwayatnya dan juga persaksiannya. Sedangkan kefasiqan mereka itu urusan lain. Jika seperti ini berita atau persaksiannya tidak boleh ditolak. Akan tetapi jika kefasiqannya karna dia sering berdusta dan mengulang-ulang kedustaannya, dan sekiranya bohongnya lebih banyak dari pada benarnya, maka kabarnya dan persaksiannya tidak diterima.” (Tafsir al-Qoyyim oleh Ibnul Qoyyim: 2/130)

Mungkin ada yang bertanya:

Jika berita orang fasiq tidak langsung ditolak, lalu apa faidahnya ayat di atas? Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab: “Berita orang fasiq itu ada faidahnya, yaitu menggerakkan jiwa dan semangat agar manusia bertanya dan menelitinya. Karena tanpa berita dari mereka, kita tidak bergerak dan tidak pula berusaha. Akan tetapi ketika ada berita, kita berkata: Barangkali berita itu benar, maka menggerakkan kita untuk menanya dan mencari kebenarannya. Jika ada bukti atas kebenarannya atau tanda kebenarannya, maka kita boleh mengambilnya. Namun jika tidak, maka kita menolaknya.” (Tafsirul Qur’an lil Utsaimin:7/14)

Wajibkah Tabayyun Jika Berita Itu Dari Orang yang Jujur?

Tabayyun terhadap sebuah berita bukan hanya ditujukan kepada orang yang fasiq saja, sekalipun orang fasiq lebih diutamakan karena terkait dengan kefasiqannya, akan tetapi kepada mukmin yang tsiqoh pun sebaiknya juga perlu tabayyun, karena bagaimanapun juga manusia bisa lupa dan salah.

Syaikh Abdul Muhsin al-Badr hafidzahulloh pernah ditanya: “Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam QS. al-Hujurot [49]:6, apakah berita dari orang yang bukan fasiq diterima, mengingat orang muslim pada asalnya bersifat adil?”
Beliau menjawab: “Menurut asalnya orang muslim itu tidak dikenal kejujurannya, sampai diketahui diajujur atau tidak. Seandainya orang Islam itu asalnya benar atau jujur, tentu tidak perlu digelari tsiqoh(dapat dipercaya), atau dia demikian dan demikian. Inilah asalnya orang Islam. Akan tetapi manusia berbicara tentang ta’dil (pujian) dan jarh (celaan) tsiqoh dan dho’if, kuat atau lemahnya hafalannya. Ini bukan berarti jika orang Islam tidak dijumpai kelemahannya lalu dihukumi tsiqoh atau dapat dipercaya. Karena pernyataan dia dipercaya atau tidak atas dasar ilmu, setelah meneliti keadaannya. “(Syarah Sunan Abi Dawud: 92/28)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh ditanya: “Ketika datang orang menyampaikan berita kepadaku, kami berkata: ‘Kami teliti dahulu, karena Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman di dalam QS. al-Hujurot: 6’ Lalu orang itu menanya kepadaku: ‘Apakah saya ini orang fasiq? atau kamu menuduh saya fasiq?’ Maka bagaimana pendapat Anda wahai Syaikh?”
Jawab beliau: “Meneliti berita dibutuhkan dua perkara:

Pertama, dari sisi amanat. Inilah yang dimaksud dalam QS. al-Hujurot: 6, karena orang fasiq tidak amanat.

Kedua, dari sisi kekuatan. Yaitu kekuatan ingatannya ketika menerima berita atau menyampaikannya dengan cepat sekali. Maka ketika saya berkata kepadanya, saya akan teliti dulu, bukan berarti saya mengatakan kamu fasiq, kamu menurut saya adalah orang yang jujur, akan tetapi boleh jadi kamu memahami ayat keliru, atau terburu-buru, atau lupa.
Namun sebaiknya jika menjumpai orang yang dhohirnya jujur dalam menyampaikan berita, kita tidak membacakan QS. al-Hujurot: 6, agar dia tidak tersinggung. Akan tetapi katakan kepadanya: ’Saya menerima beritamu, akan tetapi kami pelajari dahulu.’ Tentunya bila hatinya ragu-ragu.” (Liqo’ Babil Maftuh: 11/207)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahulloh berkata: “Ayat ini membantah pendapat orang yang berkata bahwa semua orang muslim dapat dipercaya beritanya sehingga diketahui cacatnya, karena Alloh ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar meneliti berita sebelum menerimanya, dan bukan maksudnya penelitian itu dilakukan setelah dilaksanakan hukum, karena keputusan hakim sebelum mengadakan penelitian boleh jadi menimpakan hukuman yang salah kepada yang dihukum.” (Tafsir al-Qurthubi: 16/311)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh berkata: “QS. al-Hujurot: 6 memberitahukan bahwa jika ada orang yang jujur menyampaikan berita maka beritanya kita terima, akan tetapi ketentuan ini harus dipelajari lagi sebagaimana keterangan ayat dan hadits yang shahih, misalnya saksi pelaku perbuatan zina, jika datang kepada kita satu orang yang istiqomah dan baik akhlaknya, lalu dia berkata bahwa fulan berbuat zina, maka kita tidak menerimanya walaupun dia orang yang jujur, bahkan dia dicambuk delapan puluh kali karena menuduh orang yang tidak berbuat zina. Maka dalam hal ini kita hukumi dia fasiq sekalipun dia orang yang jujur sehingga dia bertobat. “ (Baca QS. an-Nuur [24]: 4 dan Tafsir al-Qur’an lil Utsaimin: 7/14)

Kesimpulannya, tabayyun terhadap sebuah berita sangat diperlukan sekalipun dari orang muslim yang dipercaya, karena tabayyun berbeda dengan buruk sangka, akan tetapi penelitian yang dilakukan adalah untuk mencari tambahan keterangan.

Achmad Fadillah. Pendiri BAKORNAS-PWI

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Desa Krocok All Right Reserved